Kamis, 21 November 2013

tulisan tentang KUB

Upaya Menjaga Kerukunan Umat Beragama di Kec. Cigugur Kab. Kuningan Oleh: Iman Rohiman, SHI (Kepala KUA Kec. Cigugur) Sejarah Keragaman Budaya dan Keyakinan di Cigugur Saat ini, komunitas penghayat sebagian dari masyarakat Cigugur tengah menikmati hajat tahunan, yaitu acara “ Seren Taun “ yang digelar setiap tahun pada bulan Rayagung dan puncaknya pada tanggal 22 Rayagung - bulan terakhir dalam penenggalan Sunda. Istilah Seren Taun berasal dari kata seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi, seren taun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang. Dalam Konteks tradisi masyarakat peladang sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka meningkat pada tahun yang akan datang. Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. Ada dua leuit, yaitu lumbung utama yang biasa disebut leuit sijimat, leuit ratna inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung. Upacara Seren Taun di Cigugur ini makin lama makin dikenal luas, tidak hanya oleh masyarakat Cigugur atau Kuningan, tetapi juga masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, terutama kalangan yang peduli terhadap komunitas adat dan para pengikut Sunda Wiwitan. Dari tahun ke tahun, acara Seren Taun semakin melibatkan lebih banyak pihak, baik dalam penyelenggaraan maupun yang menjadi pengisi acaranya. Pada awalnya, acara Seren Taun hanya melibatkan kalangan Penghayat Kepercayaan yang berbasis di Paseban Cigugur, juga para pengikut aliran ini yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat dan propinsi lainnnya. Kini, hampir semua komunitas adat yang dikenal di Indonesia ikut serta dalam perayaan ini, terutama bertindak sebagai pengisi acara, termasuk komunitas Kanekes, komunitas adat Sumedang, Sukabumi, Sindang Barang Bogor, dan lain-lain. Masyarakat pengunjungnya pun datang dari berbagai kalangan dan pelosok daerah. Para peliput, baik media cetak maupun elektronik telah mendaftarkan diri sejak sebelum perayaan dibuka. Biasanya, dua minggu sebelum pembukaan, para peliput atau wartawan dari luar daerah mendaftarkan diri mereka untuk meliput kegiatan tersebut, dan mereka kemudian ditempatkan di beberapa rumah penduduk, kecuali tentu saja mereka yang telah memesan akomodasi khusus. Berbagai macam pentas kesenian dan budaya ditampilkan baik di sawah, jalanan, kolam, dan juga panggung utama Paseban. Fenomena ini sengaja saya angkat untuk mengawali bahasan tentang kerukunan umat beragama di Kec. Cigugur. Sebab, upacara Seren Taun menjadi fenomena khusus yang menggambarkan kerukunan dan kesatuan masyarakat dari berbagai keyakinan dan agama yang berbeda untuk bersama-sama menggelar sebuah upacara. Acara yang sebelumnya menjadi ciri khas komunitas Penghayat Kepercayaan di Cigugur, kini seakan-akan telah menjadi label Kecamatan Cigugur secara umum. Perubahan ini tentu saja penting untuk dicermati, karena menggambarkan perubahan laku, paradigma, dan pola pikir masyarakat terhadap perbedaan dan keragaman keyakinan. Perkembangan teknologi informasi turut memengaruhi perubahan pola pikir dan pandangan masyarakat terhadap keyakinan dan keberagamaan. Di satu sisi, semakin tumbuh kesadaran mengenai hak setiap manusia untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihannya sendiri, tetapi di sisi lain, berkembang pula sikap dan pemikiran keras yang memandang orang yang berbeda keyakinan sebagai orang lain sebagai lawan yang akan mengusik keyakinannya. Perkembangan itu muncul sebagai respons atas kemajuan teknologi dan dampak negatif globalisasi yang banyak memunculkan perilaku buruk yang bertentangan dengan keyakinan agama, seperti seks bebas, minuman keras, narkoba, dan laku hedonisme lainnya. Masyarakat Cigugur secara khusus dan masyarakat Kuningan secara umum, tidak bisa melepaskan diri dari gerak perkembangan ini. Teknologi informasi telah menyentuh dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dari berbagai tingkatan usia. Dilihat dari sisi geografis, sosial, dan budaya, Cigugur merupakan kawasan yang dinamis karena menjadi medan perlintas budaya, antara budaya Sunda dan juga budaya Jawa. Sebagai medan perlintasan, tentu ia mendapat pengaruh dari budaya-budaya yang melintasinya. Jelasnya, kawasan Cigugur dilewati oleh orang-orang yang bergerak dari Ciamis dan Tasikmalaya menuju Cirebon, atau juga sebaliknya. Di masa lalu, pergerakan manusia itu tidak berlangsung dengan cepat. Kadang-kadang orang yang pergi dari Cirebon mesti menginap di wilayah-wilayah yang dilewatinya, termasuk Cigugur hingga mereka tiba di Ciamis atau Tasik, begitu pun sebaliknya. Persentuhan itu memunculkan budaya dan berbagai tradisi yang semakin lama semakin kuat mengakar. Agama, keyakinan, dan laku spiritual termasuk di antara aspek budaya yang mendapat pengaruh dari proses persentuhan lintas budaya ini. Dari sisi geografis, Cigugur terletak di dataran tinggi Kabupaten Kuningan, bahkan bisa dikatakan sebagai ujung tertinggi Kab. Kuningan, karena setelah Cigugur, yang tersisa adalah kawasan Gunung Ciremai. Karena terletak di dataran tinggi, sebagian besar masyarakat mengandalkan pertanian sebagai sumber utama penghasilan mereka. Ke bagian timur, Kec. Cigugur berbatasan dengan Kec. Kuningan, begitu pun bagian utara. Cigugur menjadi jalur utama transportasi antara Cirebon-Tasikmalaya. Posisi sebagai jalur perlintasan tentu memiliki keunggulan tersendiri dibanding kawasan lainnya, misalnya masyarakatnya cenderung lebih egaliter dan terbuka terhadap berbagai masukan budaya dan pemikiran. Namun, di sisi lain, posisi sebagai melting pot (wadah percampuran) menjadikan masyarakat Cigugur (dan sebagian besar masyarakat Kuninagn) mudah terpengaruh budaya dan pemikiran yang datang dari luar. Karenanya, tak mengherankan jika kemudian di Cigugur muncul berbagai macam keyakinan dan mashab keagamaan. Selain Islam, yang menjadi agama sebagian besar penduduk, agama-agama lain pun berkembang di kawasan ini, yaitu Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Penghayat Kepercayaan. Secara administratif, Cigugur terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang berjarak sekitar 35 km ke arah selatan kota Cirebon, atau sekitar 168 km dari Kota bandung. Cigugur berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata – rata 26,80 mm dan suhu udara rata – rata sekitar 26 ̊C. Sementara dari sisi kependudukan , kependudukan , keadaannya cukup beragam karena ada beberapa agama dan keyakinan yang dianut masyarakat Cigugur. Berikut ini jumlah pemeluk agama di Kecamatan Cigugur. Islam : 39.878 Orang Katholik : 4.337 Orang Protestan : 349 Orang Budha : 12 Orang Hindu : 6 Orang Lainnya : 359 Orang Data demografi dari sisi pemeluk agama ini menjadikan Cigugur sebagai daerah yang istimewa dan kerap dijadikan sebagai bahan studi mengenai kerukunan umat beragama. Tentu saja persinggungan, kontestasi, dan bahkan perselisihan sangat mungkin dan pernah terjadi di kawasan ini yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan . Namun, secara umum, kondisi kehidupan beragama masyarakat Cigugur bisa dikatakan damai, tenang dan rukun. Sebenarnya, ketika melihat data pemeluk keagamaan itu, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana sejarahnya sehingga ditengah masyarakat Kuningan yang sebagian besar beragama Islam, muncul satu daerah yang penduduknya terdiri atas berbagai agama dan keyakinan yang berneda? Keragaman pemeluk agama di Cigugur tak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan kalangan Penghayat Kepercayaan. Pada tahun 1848 di Cigugur berdiri sebuah aliran kepercayaan yang dikenal dengan nama Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai “paguron” yang ada di Jawa Barat. Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok – pokok ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran – ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme Jawa yang dibingkai dengan unsur – unsur kebudayaan Sunda. Dari Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu, majalengka Ciamis, tasikmalaya , Garut, Bandung, Padalarang, Bogor, Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Pada masa penjajahan, perkembangan ADS tidak begitu pesat karena kerap dicurigai dan dilarang melakukan kegiatan oleh penguasa kolonial, baik Belanda maupun Jepang. Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa, Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang terletak di sebelah barat Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat. Pada masa penjajahan Jepang, komunitas ADS mendapat tekanan berat hingga pemimpinnya terpaksa mengungsi ke Bandung kemudian ke Tasikmalaya. Para penganut ADS sering menganggap penindasan penguasa Jepang sebagai hasil hasutan orang-orang yang tak menyukai kehadiran mereka. Anggapan itu memperburuk hubungan penganut ADS dengan umat Islam setempat. Namun jika melihat strategi dasar Jepang yang menggunakan kekuatan Islam untuk kepentingan ekspansinya di Asia, khususnya Indonesia, maka boleh jadi penindasan terhadap ADS, bukan semata-mata sebagai hasil hasutan umat Islam, namun lebih merupakan pelaksanaan strategi umum ekspansi Jepang seperti yang juga dilakukan di Aceh. Pada tanggal 21 September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS terpaksa harus membuat pernyataan bermeterai yang isi pokoknya membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut, pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun kolektif. Hal itu dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum. Sebagai akibat peristiwa tersebut, terjadilah perpindahan masal para penganut ADS menjadi penganut agama Katolik. Dan dengan demikian pula mulailah kegiatan Gereja Katolik di Cigugur. Di samping melakukan pembinaan nilai-nilai dan cara hidup Katolik, pihak gereja juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi umat yang mendapat sambutan baik tanpa ada persoalan yang berarti, baik yang datang dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Itulah sejarah ringkas perkembangan agama dan keyakinan yang muncul di wilayah Kec. Cigugur. Upaya Menjaga Kerukunan Umat Beragama Ada tiga unsur dalam konsep kerukunan umat beragama: pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang maupun kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya, dan; ketiga, kemampuan menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kekhusyuan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Secara terminologis kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Repubkik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ada tiga aspek kerukunan umat beragama, yaitu kerukunan intern umat beragama; kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan umat beragama bukan upaya memperlemah iman. Kerukunan adalah upaya menjembatani hubungan sosial antar umat beragama. Karenanya, inisiatif masyarakat lebih dominan dibanding dorongan dari pemerintah. Maka, kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman dan damai. Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, di antaranya dengan mengeksplorasi secara luas pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakina plural umat mahusia, melakukan pendalaman nilai- nilai spritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai- nilai ketuhanan, mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap unsur dan lapisan masyarakat dan menumbuhkan kesadaran mereka bahwa perbedaan adalah realitas kehidupan bermasyarakat. Karena itu, perbedaan mestinya dijadikan mozaik yang memperindah fenomena kehidupan beragama. Sebagaimana telah dikemukakan di depan, masyarakat Cigugur menganut keyakinan yang berbeda-beda. Perbedaan itu muncul karena gerak persentuhan mereka dengan kebudayaan dan komunitas lain. Selain itu, unsur animisme dan dinamisme yang dikenal dalam tradisi Sunda, juga ikut memengaruhi terbentuknya perbedaan-perbedaan itu sebagaimana terlihat dalam upacara dan tradisi spiritual komunitas Penghayat Kepercayaan. Ragam perbedaan itu bisa menjadi potensi besar sehinga melahirkan keragaman warna budaya, tradisi, dan cara pandang masyarakat terhadap berbagai persoalan. Namun, perbedaan itu juga bisa menjadi sumber konflik dan perselisihan jika masing-masing pihak yang berbeda tidak berupaya mengelola perbedaan itu menjadi satu kekuatan bersama. Di Kec. Cigugur, kaum muslim mendominasi jumlah penduduk. Dari sekitar 44 ribu jiwa, 38 ribu di antaranya menganut agama Islam. Karenanya, Islam dan kaum muslim memiliki peran dan posisi penting dalam upaya menciptakan dan menjaga kerukunan umat beragama di wilayah Kecamatan Cigugur. Islam sendiri mengajarkan kepada umatnya untuk menghargai keyakinan dan ibadah yang dilakukan orang lain. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk membenci dan memusuhi penganut keyakinan atau agama lain selama mereka menyepakati kesepakatan sosial yang telah dibentuk dan tidak merusak atau mengganggu kaum muslim. Ajaran Islam yang bersifat universal sangat relevan untuk dilaksanakan demi menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan. Universalisme Islam tampak jelas dari di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian, menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama. Islam tidak melarang umatnya menjalin hubungan dengan penganut agama lain, kecuali bekerja sama dalam soal aqidah dan ibadah. Kedua aspek ajaran Islam itu merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik. Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar