Rabu, 20 November 2013

KEARIFAN LOKAL SUMATERA UTARA


KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA DI SUMATERA UTARA

OLEH
M. ABDULLAH AMIN HASIBUAN [1]
A. Pendahuluan
Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. Berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah, baik karena alasan politik, ekonomi dan agama, adalah merupakan serius yang harus diselesaikan dengan arif. Apalagi menyangkut politik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon, Posa dan daerah lain, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebab, konflik antar umat beragama ini tidak segara diatasi, dikawatirkan nanti akan merambah ke daerah lain, akan membuat persoalan semakin parah.
Problematika “Mayoritas” dan “Minoritas” penduduk Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya menyangkut masalah heterogenitas etnis, ekonomi, politik, pendidikan, tetapi juga persoalan keanekaragaman agama (Pluralitas Agama). Fokus pembahasan berikut ni adalah menyangkut persoalan keanekaragaman agama. “Mayoritas” diidentikkan dengan penduduk yang beragama Islam, sedangkan “Minoritas” adalah penduduk yang yang Islam, seperti Katolik, Kristen, Budha atau Hindu.
Keanekaragaman agama di Indonesia, merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Ini berarti kita harus pula menyadari konsekwensinya, yakni perbedaan yang bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan.[2] Karena itu upaya mengidentifikasi keanekaragaman agama dalam masyarakat Indonesia yang mejemuk menjadi sangat penting. Sebab salah satu jalan menuju kearah integrasi bangsa adalah mengidentifikasi dan mengagendakan setiap persoalan yang muncul dari keanekaragaman agama tadi.
Dalam mengatasi konflik yang terjadi di Indonesia pemerintah telah berupaya melakukan berbagai hal untuk mengatasi permasalahan konflik tersebut diantaranya Pertama, Melakukan dialog antara ummat beragama yang diharapkan mampu meredam konflik yang terjadi, upaya ini memang mampu meredam konflik tersebut namun belum mampu menyentuh keakar permasalahan yang muncul. Kedua, Membentuk Lembaga dibidang kerukunana Ummat beragama seperti FKUB, yang diharapkan mampu merekat persaudaraan sesama ummat beragama, dan inipun hanya mampu menyentuh dikalangan tertentu, atau hanya menjadi mediator penyelesaian permaslahan bila terjadi konflik antara ummat beragama.
Untuk itu perlu kiranya mencari solusi untuk lebih mempererat kerukunan yang telah ada sehingga kerukunan itu bukan hanya menyentuh secara umum atau dalam tatanan konstitusi namun juga mampu menyentuh keperasaan dan persauadaan secara individual bagi personal masayarakat.
B. Dalihan Natolu Konsep KUB Yang Mengakar di SUMUT
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya Batak.[3] Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubunganperkawinan yang mempertalikan satu kelompok.[4] Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
1. Pertama, Somba Marhulahula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.
2. Kedua, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
3. Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga)
Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, bukan berkaki empat atau lima.[5] Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosialyang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut.
Somba Marhulahula ada yang menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti menyembah, akan tetapi kata Somba di sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat. Sehingga Somba marhula-hula berarti hormat kepada Hula-hula. Hula-hula adalah kelompok marga istri, mulai dari istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa generasi, kelompok marga istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan seterusnya dari kelompok dongan tubu.
Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
Elek Marboru artinya lemah lembut tehadap boru/perempuan. Berarti rasa sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah di ladangTanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Manat Mardongan Tubu/Sabutuha artinya suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan, dan lain-lain.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati (marsipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan menolong. Dalihan Natolu menjadi media yang memuat azas hukum yang objektif.
Di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga ini memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk di dalamnya adat-istiadat dan kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah. (Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat istiadat, kebudayaankesenian daerah, gotong royong dan kekeluargaan.[6]
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal lain yang harus diperhatikan secara langsung “Dalihan Natolu” adalah “Dalihan” artinya sebuah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan “Dalihan Natolu” ialah tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu. Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam ditanah serta jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya sama agar dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah atau terbuang.
Dulunya, kebiasaan ini oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam bahasa Batak Toba disebut juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat sihalsihal adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.
Sehari-hari alat tungku merupakan bagian peralatan rumah yang paling vital untuk memasak. Makanan yang dimasak baik makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga. Biasanya memasak di atas dalihan natolu terkadang tidak rata karena batu penyangga yang tidak sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda lain untuk mengganjal.
Contoh umpasa Batak Toba yang menggunakan kata Dalihan Natolu : “Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.
Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
C. Kebudayaan Masyarakat Sumut Yang Mempererat KUB
            Secara umum bahwa usaha untuk membentuk kerukunan antara Ummat beragama di Propinsi Sumatera Utara juga tidak luput dari informasi yang telah diberikan oleh pemerintah secara Nasional, namun ke khususan masyarakat Sumatera Utara terletak pada budaya masyarakat itu sendiri yang ditopang oleh pemerintah, namun selayaknya dijadikan pembiaran akan tetapi harus di support bahkan harus diberi apresiasi oleh pemerintah adapun budaya budaya tersebut adalah :
1. Horja
Secara umum Horja merupakan bahasa Batak yang memiliki arti Pesta, bila ada perayaan adat baik yang menyangkut perkawinan atau memberi nama anak, maka akan muncul jiwa kebersamaan dimana dalihan natolu akan bahu membahu untuk mensukseskan kegiatan tersebut, sehingga rasa persaudaraan akan muncul tanpa melihat agamanya melainkan membantu sesama untuk mensukseskan horja tersebut.Dalam Horja tersebut ada keunikan berupa penghargaan kepada masing-agama berupa pembedaan makanan dan minuman kepada ummat muslim sebab ummat Islam tidak mau memakan yang masak oleh yang bukan Islam.
2. Kerja Tahunan Dalam Masyakat SUMUT
Kerja tahunan ini dilakukan oleh masyarakat Karo dimana akan diadakan pertemuan besar-besaran yang diadakan di Karo untuk mengenang dan melihat perkembangan Bonapasogit di kampung halaman yang mengikutkan seluruh masyarakt karo se dunia tanpa membedakan agama satu sama lain.
3. Menghormati Nenek Moyang
Untuk menghormati dan mengabadikan nenek moyang dikalangan masyakat Batak, maka di bentuklah Parsadaan-parsadaan yang membentuk satuan marga tertentu sehingga akan kelihatan di mana sumber asal usul seseorang mulai sejak Si Raja Batak hingga ke diri individu itu sendiri, yang akan menjadikan kecintaan terhadap persaudaraan sesama keturunan. Contoh Marga Hasibuan yang bersaudara dengan Panggabean, Hutabarat, Huta Galung, Lubban Tobing, Simorangkir, sehingga bila mereka bertemu dalam suatu tempat maka akan muncul rasa persaudaraan di antara mereka walaupun berbeda agama.
4. Pesta danau Toba
Pesta Danau Toba merupakan Budaya yang didukung penuh oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, sehingga potensi pesta Danau Toba bukan saja menunjukkan potensi pariwisata yang ada di sekitar wilayah Danau Toba, melainkan memiliki peranan mempersatukan seluruh ummat manusia dari seluruh pelosok dunia untuk mengenal budaya lokal masyarakat di Sumatera Utara yang Heterorogen dan Humanis.
Pesta Danau Toba memperagakan berbagai macam kebudayaan masyarakat sumatera utara khususnya orang Batak yang tinggal di Danau Toba, yang menunjukkan sikap saling menyayangi dan memegang teguh adat istiadat yang ada serta melestarikannya, perekat persaudaraan tanpa memandang agama.
D. Marga Sebagai Perekat Kerukunan
            Marga Batak adalah Marga pada Suku Batak  yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, Orang Batak selalu memiliki nama Marga/Keluarga. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (Patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.
            Menurut kepercayaan masyarakat Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari keturunan (Pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak.
Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.
Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang di diami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:
·         Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb
·         Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, simanindo, Parbaba, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga Sitorus, Marpaung, dsb
·         Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya); contoh: marga Simatupang Siburian, Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, dsb
·         Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat, dsb
Hubungan antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi secara adat.
Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.
Dalam masyakat batak dikenal istilah Tarombo atau Silsilah merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
·         Silaban
·         Raja Naipospos, yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
·         Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
Bentuk Klan adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik.Marga ini akan menumbuhkan persaudaraan dikalangan masyakat batak tanpa melihat agama masing-masing
Penutup
             Bahwa Kerukunan Antara Ummat beragam di Sumatera Utara yang multikultural bahkan sebagai miniature kerukunan di Indonesia tidak lepas dari budaya yang memang sudah mengakar dan ada sejak jaman dahulu yang perlu dilestarikan bahkan digali untuk lebih mempererat persaudaraan sesame ditengah gejolak misionarisme agama-agama didunia.

DAFTAR PUSTAKA
D. J. Gultom Raja Marpodang, sebagai sumber pembanding dalam bukunya
yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang
marga keturunan Raja Batak.

Haran Sibagariang (Gelar: Ompu Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri
Huta Raja sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya
sendiri tentang Raja Naipospos dan Keturunannya.

Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu,
(Jakarta:Dian Utama, 2006).

J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta: Lkis,
2004).

J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.

Laris Kaladius Sibagariang, seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta
Raja, Sipoholon sebagai sumber lisan.

Saefuddin, Achmad, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Paham dalam Agama
Islam. (Jakarta: CV. Rajawali, 1986). h. 25.

W. M. Hutagalung, sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang
bejudul PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak.





[1] Penulis adalah Peserta Diklat Calon Penyuluh Tahun 2013 di PUSDIKLAT Keagamaan Ciputat, Jakarta,  yang berasal dari Propinsi Sumatera Utara dengan Wilayah Tugas Penyuluhan di Kementerian Agama Kota Medan di Kecamatan Medan Polonia.

                [2] Saefuddin, Achmad, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Paham dalam Agama Islam. (Jakarta: CV. Rajawali, 1986). h. 25.

[3] Lihat Dalam Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta: Dian Utama, 2006).

[4] Lihat Dalam J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta: Lkis, 2004).

[5] Lihat dalam J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.

[6] Lihat Dalam (Pasal 1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandantingkat Kabupaten(Pasal 5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar