KEARIFAN LOKAL SEBAGAI SARANA PEMBENTUKAN KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA DI
SUMATERA UTARA
OLEH
M. ABDULLAH AMIN HASIBUAN [1]
A.
Pendahuluan
Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. Berbagai konflik yang terjadi di
berbagai daerah, baik karena alasan politik, ekonomi dan agama, adalah
merupakan serius yang harus diselesaikan dengan arif. Apalagi menyangkut
politik antar umat beragama seperti yang terjadi di Ambon, Posa dan daerah
lain, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Sebab, konflik antar umat beragama
ini tidak segara diatasi, dikawatirkan nanti akan merambah ke daerah lain, akan
membuat persoalan semakin parah.
Problematika “Mayoritas” dan “Minoritas”
penduduk Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya menyangkut
masalah heterogenitas etnis, ekonomi,
politik, pendidikan, tetapi juga persoalan keanekaragaman agama (Pluralitas Agama). Fokus pembahasan
berikut ni adalah menyangkut persoalan keanekaragaman agama. “Mayoritas” diidentikkan dengan penduduk
yang beragama Islam, sedangkan “Minoritas”
adalah penduduk yang yang Islam, seperti Katolik, Kristen, Budha atau Hindu.
Keanekaragaman agama di Indonesia,
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Ini berarti kita harus pula
menyadari konsekwensinya, yakni perbedaan yang bisa menimbulkan
ketegangan-ketegangan.[2] Karena
itu upaya mengidentifikasi keanekaragaman agama dalam masyarakat Indonesia yang
mejemuk menjadi sangat penting. Sebab salah satu jalan menuju kearah integrasi bangsa adalah mengidentifikasi
dan mengagendakan setiap persoalan yang muncul dari keanekaragaman agama tadi.
Dalam mengatasi konflik yang terjadi
di Indonesia pemerintah telah berupaya melakukan berbagai hal untuk mengatasi
permasalahan konflik tersebut diantaranya Pertama,
Melakukan dialog antara ummat beragama yang diharapkan mampu meredam
konflik yang terjadi, upaya ini memang mampu meredam konflik tersebut namun
belum mampu menyentuh keakar permasalahan yang muncul. Kedua, Membentuk Lembaga dibidang kerukunana Ummat beragama seperti
FKUB, yang diharapkan mampu merekat persaudaraan sesama ummat beragama, dan
inipun hanya mampu menyentuh dikalangan tertentu, atau hanya menjadi mediator
penyelesaian permaslahan bila terjadi konflik antara ummat beragama.
Untuk itu perlu kiranya mencari solusi
untuk lebih mempererat kerukunan yang telah ada sehingga kerukunan itu bukan
hanya menyentuh secara umum atau dalam tatanan konstitusi namun juga mampu
menyentuh keperasaan dan persauadaan secara individual bagi personal
masayarakat.
B. Dalihan Natolu Konsep KUB Yang Mengakar
di SUMUT
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau
wawasan sosial-kulturan yang menyangkut masyarakat dan budaya
Batak.[3]
Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan
hubunganperkawinan yang
mempertalikan satu kelompok.[4] Dalam
adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional
sebagai suatu konstruksi sosial yang
terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tungku tersebut
adalah:
2. Kedua, Elek Marboru
(sikap membujuk/mengayomi wanita)
3. Manat Mardongan
Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga)
Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga,
bukan berkaki empat atau lima.[5]
Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika satu
dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Kalau kaki
lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian
meletakkan beban, begitu juga dengan tungku berkaki empat. Tetapi untuk
tungku berkaki tiga, itu tidak mungkin terjadi. Inilah yang dipilih leluhur suku batak sebagai falsafah hidup
dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara, dengan hula-hula dan boru.
Perlu keseimbangan yang absolut dalam
tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus
menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru,
dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Natolu menjadi kerangka yang
meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang
mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional
sebagai suatu konstruksi sosialyang terdiri
dari tiga hal yang menjadi dasar bersama, ketiga hal tersebut.
Somba
Marhulahula ada yang
menafsirkan pemahaman ini menjadi “menyembah hul-hula, namun ini tidak tepat. Memang benar kata Somba, yang tekananya pada som berarti
menyembah, akan tetapi kata Somba di
sini tekananya ba yang adalah kata sifat dan berarti hormat.
Sehingga Somba marhula-hula berarti
hormat kepada Hula-hula.
Hula-hula adalah
kelompok
marga istri, mulai dari
istri kita, kelompok marga ibu (istri bapak), kelompok marga istri opung, dan beberapa
generasi, kelompok marga
istri anak, kelompok marga istri cucu, kelompok marga istri saudara dan
seterusnya dari kelompok dongan tubu.
Hula-hula ditengarai
sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber
hagabeon/keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari
hulahula. Tanpa hulahula tidak ada istri, tanpa istri tidak ada keturunan.
Elek Marboru artinya
lemah lembut
tehadap boru/perempuan. Berarti rasa
sayang yang tidak disertai maksud tersembunyi dan pamrih. Boru adalah anak perempuan kita, atau
kelompok marga yang
mengambil istri dari anak kita (anak perempuan kita). Sikap lemah lembut terhadap boru
perlu, karena dulu borulah yang dapat diharapkan membantu mengerjakan sawah
di ladang. Tanpa boru,
mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Manat Mardongan Tubu/Sabutuha
artinya suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk
mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara adat. Hati–hati
dengan teman semarga. Kata orang tua-tua “hau
na jonok do na boi marsiogoson” yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat
bergesekan. Ini menggambarkan bahwa begitu dekat dan seringnya hubungan
terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik, konflik kepentingan, kedudukan,
dan lain-lain.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling menghormati
(marsipasangapon) dengan dukungan kaidah moral: saling menghargai dan
menolong. Dalihan Natolu menjadi
media yang memuat azas hukum yang objektif.
Di Tapanuli telah
diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat Dalihan Natolu, yaitu
suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga musyawarah
yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai
dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10
Tahun 1990).
Lembaga ini
memiliki tugas untuk melaksanakan berbagai usaha/kegiatan dalam rangka
menggali, memelihara, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah termasuk
di dalamnya adat-istiadat dan
kesenian untuk tujuan pembangunan dan sifatnya konsultatif terhadap pemerintah.
(Pasal 6 Perda No. 10 Tahun 1990).
Lembaga DalihanNatolu adalah lembaga
permusyawaratan/pemufakatan adat Batak yang dibentuk berdasarkan peranan adat
istiadat, kebudayaan, kesenian daerah, gotong royong dan
kekeluargaan.[6]
Keanggotaan dan kepengurusan Lembaga
Adat Dalihan Natolu adalah para Penatua Adat yang benar memahami, menguasai dan
menghayati adat istiadat. Selain itu, jelas bahwa anggota dan pengurus
harus setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal lain yang harus diperhatikan
secara langsung “Dalihan Natolu”
adalah “Dalihan” artinya sebuah
tungku yang dibuat dari batu, sedangkan “Dalihan
Natolu” ialah tungku tempat memasak yang diletakkan diatas dari tiga batu.
Ketiga dalihan yang dibuat berfungsi sebagai tempat tungku tempat memasak
diatasnya. Dalihan yang dibuat haruslah sama besar dan diletakkan atau ditanam
ditanah serta jaraknya seimbang satu sama lain serta tingginya sama agar
dalihan yang diletakkan tidak miring dan menyebabkan isinya dapat tumpah atau
terbuang.
Dulunya, kebiasaan ini oleh
masyarakat Batak khususnya Batak Toba memasak di atas tiga tumpukan
batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku jika diterjemahkan langsung dalam
bahasa Batak Toba disebut
juga dalihan natolu. Namun sebutan dalihan natolu paopat sihalsihal adalah
falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam
kehidupan masyarakat Batak.
Sehari-hari alat tungku merupakan
bagian peralatan rumah yang paling vital untuk memasak. Makanan yang dimasak
baik makanan dan minuman untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga.
Biasanya memasak di atas dalihan natolu terkadang tidak rata karena batu
penyangga yang tidak sejajar. Agar sejajar maka digunakanlah benda lain untuk
mengganjal.
Contoh
umpasa Batak Toba yang
menggunakan kata Dalihan Natolu : “Ompunta naparjolo martungkot sialagundi.
Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat
relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.”
Apakah yang disebut dengan dalihan
natolu paopat sihal-sihal itu? dari
umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan
natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan
tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so
Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru,
andurabionma tarusanna.
C.
Kebudayaan Masyarakat Sumut Yang Mempererat KUB
Secara
umum bahwa usaha untuk membentuk kerukunan antara Ummat beragama di Propinsi
Sumatera Utara juga tidak luput dari informasi yang telah diberikan oleh
pemerintah secara Nasional, namun ke khususan masyarakat Sumatera Utara
terletak pada budaya masyarakat itu sendiri yang ditopang oleh pemerintah,
namun selayaknya dijadikan pembiaran akan tetapi harus di support bahkan harus diberi apresiasi oleh pemerintah adapun budaya
budaya tersebut adalah :
1. Horja
Secara umum Horja merupakan bahasa Batak yang memiliki arti Pesta, bila ada
perayaan adat baik yang menyangkut perkawinan atau memberi nama anak, maka akan
muncul jiwa kebersamaan dimana dalihan
natolu akan bahu membahu untuk mensukseskan kegiatan tersebut, sehingga
rasa persaudaraan akan muncul tanpa melihat agamanya melainkan membantu sesama
untuk mensukseskan horja
tersebut.Dalam Horja tersebut ada
keunikan berupa penghargaan kepada masing-agama berupa pembedaan makanan dan
minuman kepada ummat muslim sebab ummat Islam tidak mau memakan yang masak oleh
yang bukan Islam.
2. Kerja Tahunan Dalam Masyakat
SUMUT
Kerja tahunan ini dilakukan oleh
masyarakat Karo dimana akan diadakan pertemuan besar-besaran yang diadakan di
Karo untuk mengenang dan melihat perkembangan Bonapasogit di kampung halaman yang mengikutkan seluruh masyarakt
karo se dunia tanpa membedakan agama satu sama lain.
3. Menghormati Nenek Moyang
Untuk menghormati dan mengabadikan
nenek moyang dikalangan masyakat Batak, maka di bentuklah Parsadaan-parsadaan
yang membentuk satuan marga tertentu sehingga akan kelihatan di mana sumber
asal usul seseorang mulai sejak Si Raja Batak hingga ke diri individu itu
sendiri, yang akan menjadikan kecintaan terhadap persaudaraan sesama keturunan.
Contoh Marga Hasibuan yang bersaudara
dengan Panggabean, Hutabarat, Huta
Galung, Lubban Tobing, Simorangkir, sehingga bila mereka bertemu dalam
suatu tempat maka akan muncul rasa persaudaraan di antara mereka walaupun
berbeda agama.
4. Pesta danau Toba
Pesta Danau Toba merupakan Budaya
yang didukung penuh oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, sehingga potensi
pesta Danau Toba bukan saja menunjukkan potensi pariwisata yang ada di sekitar wilayah
Danau Toba, melainkan memiliki peranan mempersatukan seluruh ummat manusia dari
seluruh pelosok dunia untuk mengenal budaya lokal masyarakat di Sumatera Utara
yang Heterorogen dan Humanis.
Pesta Danau Toba memperagakan
berbagai macam kebudayaan masyarakat sumatera utara khususnya orang Batak yang
tinggal di Danau Toba, yang menunjukkan sikap saling menyayangi dan memegang
teguh adat istiadat yang ada serta melestarikannya, perekat persaudaraan tanpa
memandang agama.
D.
Marga Sebagai Perekat Kerukunan
Marga Batak adalah Marga pada Suku Batak yang berasal dari daerah di Sumatera Utara, Orang Batak selalu memiliki nama Marga/Keluarga. Nama marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah (Patrilinear) yang
selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus menerus.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak, induk marga
Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang
Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon.
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu
Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang.
Dari keturunan (Pinompar) mereka
inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara
maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam marga Batak.
Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak
dapat disebut sebagai asal mula orang Batak masih perlu dikaji lebih dalam.
Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian
wilayah yang di diami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar,
yaitu:
·
Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya);
contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb
·
Toba (Balige, Laguboti,Porsea,
Parsoburan, simanindo, Parbaba, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga
Sitorus, Marpaung, dsb
·
Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta,
Siborongborong, dan sekitarnya); contoh: marga Simatupang Siburian, Silaban,
Sihombing Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit, dsb
·
Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae,
dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit,
Situmeang, Marbun), Huta Barat, dsb
Hubungan antar marga di masing-masing suku
Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak (Samosir-Toba-Humbang-Silindung)
hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal marga tersebut pada garis
keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja Batak, maka semakin dituakanlah
marga tersebut.
Satu hal yang pasti, 2 orang yang bermarga
sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat tidak diperbolehkan untuk menikah.
Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat sangsi secara adat.
Tidak ada pengklasifikasian tertentu atas
jenis-jenis marga ini, namun marga-marga biasanya sering dihubungkan dengan
rumpunnya sebagaimana Bahasa
Batak. Misalnya Simatupang merupakan perpaduan dari putranya marga
Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya yang
secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit, Situmeang,
dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan sebagainya.
Dalam masyakat batak dikenal istilah Tarombo
atau Silsilah merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka
masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai "orang
Batak kesasar" (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan
teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa contoh artikel yang membahas
tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
·
Silaban
·
Raja
Naipospos, yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga
Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun
Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
·
Si
Opat Pusoran, yang menurunkan marga Hutabarat,
Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
Bentuk Klan adalah berupa suatu kumpulan
orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa beberapa ibu, karena suku
batak menganut parternalistik.Marga ini akan menumbuhkan persaudaraan
dikalangan masyakat batak tanpa melihat agama masing-masing
Penutup
Bahwa Kerukunan Antara Ummat beragam di Sumatera
Utara yang multikultural bahkan
sebagai miniature kerukunan di
Indonesia tidak lepas dari budaya yang memang sudah mengakar dan ada sejak
jaman dahulu yang perlu dilestarikan bahkan digali untuk lebih mempererat
persaudaraan sesame ditengah gejolak misionarisme agama-agama didunia.
DAFTAR
PUSTAKA
D. J. Gultom
Raja Marpodang,
sebagai sumber pembanding dalam bukunya
yang berjudul Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak tentang
marga keturunan
Raja Batak.
Haran
Sibagariang (Gelar: Ompu
Basar Solonggaron), mantan Kepala Negeri
Huta Raja
sebagai sumber tertulis dalam buku sederhana susunannya
sendiri tentang
Raja Naipospos dan Keturunannya.
Jan. S Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran
Menuju Dalihan Natolu,
(Jakarta:Dian Utama, 2006).
J.C Vergouwen,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba,(Yogyakarta:
Lkis,
2004).
J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta:
Penerbit Jala Permata Aksara, 2010.
Laris Kaladius
Sibagariang,
seorang yang dituakan dan kepala adat di Huta
Raja, Sipoholon
sebagai sumber lisan.
Saefuddin, Achmad, Konflik dan Integrasi,
Perbedaan Paham dalam Agama
Islam.
(Jakarta: CV.
Rajawali, 1986). h. 25.
W. M.
Hutagalung,
sebagai sumber pembanding dalam bukunya yang
bejudul PUSTAHA BATAK Tarombo dohot Turiturian ni Bangso
Batak.
[1] Penulis adalah Peserta Diklat Calon Penyuluh
Tahun 2013 di PUSDIKLAT Keagamaan Ciputat, Jakarta, yang
berasal dari Propinsi Sumatera Utara dengan Wilayah Tugas Penyuluhan di Kementerian
Agama Kota Medan di Kecamatan Medan Polonia.
[3] Lihat Dalam Jan. S
Aritonang, dkk, Beberapa Pemikiran Menuju Dalihan Natolu, (Jakarta: Dian Utama,
2006).
[4] Lihat Dalam J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum
Adat Batak Toba, (Yogyakarta: Lkis, 2004).
[5] Lihat dalam J. P. Sitanggang, Raja Napogos, Jakarta: Penerbit Jala
Permata Aksara, 2010.
[6] Lihat Dalam (Pasal
1 h Perda No. 10 Tahun 1990). Lembaga ini berkedudukan di tempat Desa/Kelurahan/Kecamatandantingkat Kabupaten(Pasal
5 dan 7 Perda No. 10 Tahun 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar