10 KERUSAKAN DALAM MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI (Muhammad Abduh Tuasikal)
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga
akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut
perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur
pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun
bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan
tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga
artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma,
ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah
diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini,
Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari
Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan
mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang
Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga
tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar
setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang
secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama
bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama
bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar
Augustus, menjadi bulan Agustus.
Dari sini kita dapat
menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan
sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada
pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama : Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ
لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ
أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ
الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah
dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang
mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tiba di Madinah,
beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang
di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang
lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”
Namun setelah itu muncul
berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang
dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara
perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.
Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah
ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik
yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah
mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah
semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi
tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul
beberapa hal:
1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
1. Ied yang tujuannya
adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari
tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
2. Ied yang mengandung
unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir
yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup
dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang
mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari
agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah
peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid
nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang
tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan
golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan
terlarang karena menyerupai orang kafir.” Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua : Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru
termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan
mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin
mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ
قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ
أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan
terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti
seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas
siapa lagi?“
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan
mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk
ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan
mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah
yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas
siapa lagi?”
An Nawawi -rahimahullah-
ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan
syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan
tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum
muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu
kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai
penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah
suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi
saat-saat ini.”
Lihatlah apa yang
dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau
katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian
orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah
telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula
perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Menyerupai orang kafir
(tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan.
Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan
kesepakatan para ulama (ijma’).
Kerusakan Ketiga : Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa
perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi
mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang
mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.
“Daripada waktu kaum
muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir
berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu
pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian
orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan
suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah
bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus
disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian
tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana
nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang
mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak
bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita
baik.”
Maka cukup kami sanggah
niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat
orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada
tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”
Jadi dalam melakukan
suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti
contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut
bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat : Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui
bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar
kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam
syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan
berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam
Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada
syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti
mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi
ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan,
‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan
selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang
mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan
lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini
pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang
mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar
dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh
Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum
minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat
lainnya.
Banyak orang yang kurang
paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak
mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu,
barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat,
bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka
Allah Ta’ala.”
Kerusakan Kelima : Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita
saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik
pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam
1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang
begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat
tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat
Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka
tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa
ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa
meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele.
Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
“Kaum muslimin tidaklah
berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat
lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan
dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina,
mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.”
Adz Dzahabi
–rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga
keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat
-yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan
mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa
besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali
termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk
orang mujrim (yang berbuat dosa).”
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja
meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy
berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami
dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka
dia telah kafir.” Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya
merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa
besar.
Dengan merayakan tahun
baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat
malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik shalat
setelah shalat wajib adalah shalat malam.” Shalat malam adalah
sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang
sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan
waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia
menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya
orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam : Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada
kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang
tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”
Ibnu Baththol
menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang
setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat
malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah.
‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang
setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang
di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” Apalagi dengan
begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu
shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh : Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada
tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka
tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan
berkhalwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu
sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi
di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam
bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian
tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan
melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina.
Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah
ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak
bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga
dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah
dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati
adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang
nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”
Kerusakan Kedelapan : Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru
banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara
bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena
mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang
butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim
lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”
“Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar
seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan,
tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun
itu hanya menyakiti seekor semut”.” Perhatikanlah perkataan yang sangat
bagus dari Al Hasan Al Basri.
Seekor semut yang kecil
saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal
dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan : Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun
baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika
kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru
sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan
perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta
penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang
dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang
menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah
sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang
dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang
api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal
Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isra’:
26-27)
Ibnu Katsir mengatakan,
“Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.”
Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan
dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu
bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang
menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah
tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja
(ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan
tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir
(pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada
Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”
Kerusakan Kesepuluh : Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru
termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan
untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda
kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Ingatlah bahwa
membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama
memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu
masih lebih jelek dari kematian.
“(Ketahuilah bahwa)
menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu
akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat.
Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Seharusnya seseorang
bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan.
Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun
mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah
kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang
menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala
berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak
memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang
mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi
peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena
umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu.
Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang
panjang untuk hal yang sia-sia.”
Inilah di antara
beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak
kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam
tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir
seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru.
Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya.
Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat
waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan
melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan
dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita
pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin?
Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah
semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali
bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah
keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami
yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal
agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya
kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs.
Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush shalihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad
wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh Rumaysho.com
[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar